METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF

METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF

Oleh :
Wirasandi

1. Pengantar

Setiap peneliti mutlak memiliki pemahaman yang mendalam dan komprehensif berkenaan dengan pradigma dan karakteristik metodologi yang ia gunakan. Sebab, ia tidak hanya bertanggung jawab terhadap hasil akhir penelitiannya, tetapi juga terhadap setiap langkah atau strategi penelitian yang digunakan di dalam melaksanakan aktivitas penelitiannya. Dalam kaitan itu, maka di dalam uraian ini akan dipaparkan mengenai pijakan teori dan karakteristik penelitian kualitatif, strategi pengumpulan data, validasi data, analisis dan pelaporan hasil penelitian.

2. Pijakan Teori dan Karakteristik Penelitian Kualitatif  
Dalam penelitian kualitatif, teori diartikan sebagai suatu pernyataan sistematis yang berkaitan dengan seperangkat proposisi yang berasal dari data dan diuji kembali secara empiris. Dasar teori dalam penelitian kualitatif oleh Biklen dan Bogdan (1982) disamakan dengan paradigma. Paradigma diartikan sebagai kumpulan longgar tentang asumsi yang secara logis dianut bersama, konsep, atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan cara penelitian.
Sebelum paradigma pasca-positivisme berkembang menjadi paradigma alternatif dalam pengembangan ilmu pengetahuan, paradigma positivisme dianggap sebagai satu-satunya dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Karena itu paradigma positivisme itulah yang mewarnai pola pikir metodologi penelitian yang dikenal sebagai metodologi penelitian kuantitatif yang mendasarkan kegiatannya pada bentuk penelitian eksperimental dengan analisis statistik. Metode ini sempat diyakini sebagai satu-satunya pendekatan penelitian yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan secara objektif bagi semua bidang ilmu.
Namun, dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan, ternyata semakin banyak ilmuwan yang menyadari kelemahan paradigma positivisme, terutama dalam ilmu-ilmu sosial. Para peneliti ilmu-ilmu sosial banyak menghadapi masalah yang tidak mampu dijawab secara tepat dengan  menggunakan paradigma positivisme. Itu terjadi karena ilmuwan sosial yang menjadikan manusia sebagai objek kajiannya, ternyata fenomenanya berbeda dengan fenomena alam. Jika fenomena alam relatif konstan dan berada di luar diri manusia sebagai fakta objektif, maka tidak demikian halnya dengan fenomena manusia yang keadaannya sangat ‘cair’, kontekstual dan subjektif (berkaitan erat dengan emosi, harapan, norma-norma, dan nilai-nilai yang dianutnya). Keadaan itulah yang mengkondisikan munculnya paradigma baru (pasca-positivisme) sebagai paradigma alternatif yang diyakini ampuh untuk menjelaskan fenomena manusia. Bersamaan dengan itu, mulailah para peneliti ilmu-ilmu sosial beralih ke pola penelitian kualitatif yang berupaya untuk menemukan kebenaran realitas internal (subjek). Atau kebenaran dari perspektif subjek yang menjadi sasaran penelitian.
Jika pada awalnya hanya disiplin antropologi yang senantiasa menggunakan kerangka metodologi penelitian kualitatif –lebih dikenal dengan penelitian etnografi– maka dewasa ini penelitian kualitatif semakin banyak digunakan dalam beragam bidang ilmu, baik untuk penelitian dasar maupun penelitian terapan. Bahkan dalam penelitian pendidikan yang semula hanya didasarkan pada pengukuran kuantitatif, definisi operasional, dan menekankan pada fakta empiris, semakin berubah arah dengan memberikan tempat yang sentral pada riset kualitatif yang lebih menekankan pada analisis induktif, dengan deskripsi yang kaya nuansa dan studi tentang persepsi manusia.
Paradigma pasca-positivisme telah mempengaruhi para peneliti sosial budaya, dimana paradigma ini menyajikan suatu pandangan baru tentang kebenaran berdasarkan realitas subjektif (internal) dan menentang kebenaran yang berdasarkan realitas objektif (eksternal). Smith (1984) yang mengutip pendapat Dilthei menyatakan bahwa “suatu kesalahan bila positivisme berusaha memaksakan serta membuat hukum-hukum alam sebagai tujuan pokok penelitian sosial”. Masalah sosial  yang rumit tidak memungkinkan untuk membuat hukum-hukum seperti itu. Fenomena sosial dan tingkah laku manusia pada dasarnya hanya ada dalam pikiran manusia. Realitas itu selalu terikat oleh interaksi dialektik dari objek dan subjeknya. Maka terjadi banyak realitas sebanyak manusia yang terlibat. Orang boleh membentuk realitas dirinya atau realitas sosialnya menurut pandangan mereka sendiri dengan cara yang berbeda, dalam waktu dan tempat yang berbeda pula.
Sungguhpun demikian, antara penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif mengumpulkan jenis data yang sama, yakni data kuantitas dan data kualitas. Hanya saja penelitian kuantitatif menganalisis data kualitas dengan menggunakan angka –karena perhitungannya selalu menggunakan statistik– sehingga dikembangkan sistem skala, yang berdasarkan tolok ukur tertentu. Suatu kualitas ditempatkan pada kelompok renking dengan nilainya sesuai dengan model skalanya. Berbeda dengan penelitian kualitatif yang menganalisis data kuantitas tetap dengan angka, dan data kualitas tidak diangkakan, tetapi dengan deskripsi kalimat yang rinci dengan nuansa maknanya yang jelas. Penelitian kualitatif memandang bahwa bagaimanapun kualitas tidak akan tepat untuk diangkakan, sebab dalam kenyataannya terdapat kelompok yang hampir sama namun memiliki perbedaan yang cukup bermakna. Dengan demikian, perlu dipahami bahwa dalam penelitian kualitatif sama sekali tidak mengabaikan data kuantitas dalam bentuk angka.
Metodologi penelitian kualitatif ditunjang oleh 5 (lima) perspektif teori yakni: Pertama, fenomenologi. Teori ini memiliki kedudukan sentral dalam penelitian kualitatif dan karena itu sering pula penelitian itu disebut sebagai penelitian fenomenologis. Fenomenologi memandang perilaku manusia sebagai produk dari bagaimana orang melakukan penapsiran terhadap dunia mereka sendiri. Tugas peneliti adalah menangkap proses tersebut, dan untuk itu diperlukan apa yang disebut oleh Weber ‘verstehen’  atau pemahaman empatik (merasa berada di dalam diri orang lain). Dalam kata lain, untuk menangkap makna perilaku seseorang, peneliti harus berusaha melihat segalanya dari pandangan orang tersebut. Karena itu diperlukan sikap terbuka dan siap menerima segala kemungkinan yang berbeda dari dirinya. Selanjutnya dalam upaya untuk membentuk kebenaran, peneliti harus selalu melihat sesuatu dari pandangan yang bersifat multiperspektif.
Kedua, perspektif hermeneutik. Hermeneutik mengarah pada penafsiran ekspresi yang penuh makna dan dilakukan secara sengaja oleh manusia di dalam suatu konteks. Melakukan interpretasi atas interpretasi yang telah dilakukan oleh pribadi atau kelompok manusia terhadap situasi mereka sendiri (Smith, 1984). Interpretasi atas interpretasi ini merupakan proses tanpa awal dan akhir dengan perkembangan penciptaan makna-makna baru. Makna ekspresi manusia selalu terikat dengan konteksnya. Maka untuk memahami suatu ekspresi, orang harus memahami konteksnya. Hermeneutik mempersyaratkan aktivitas konstan dari interpretasi antara bagian dan keseluruhannya yang merupakan proses tanpa awal dan akhir. Oleh karena itu peneliti kualitatif hanya dapat menyajikan  suatu interpretasi (yang didasarkan pada nilai, minat, dan tujuan) atas interpretasi orang lain (subjek yang diteliti) yang juiga didasarkan pada nilai, minat dan tujuan mereka sendiri. Hubungan antara peneliti dengan yang diteliti bersifat dialektik, dan tak pernah menganggap bahwa setiap deskripsi bersdifat definitif. Validitas keputusan mengenai sesuatu dapat diwujudkan dalam deskripsinya yang tegas, bersama dengan pengalaman orang lain dalam suatu konteks antarsubjektif. Kesimpulan makna yang kaya selalu merupakan hasil interaksi tafsir yang bersifat antarsubjektif dalam suatu konteks dengan sikap keterbukaan.
Ketiga, perspektif interaksi simbolik. Perspektif ini didasarkan pada pandangan bahwa pengalaman manusia diperoleh lewat interaksi. Objek, situasi, orang, dan peristiwa, tidaklah memiliki maknanya sendiri. Adanya makna dari berbagai hal tersebut karena “diberi” berdasarkan interpretasi. Manusia secara konstan berada di dalam proses interpretasi dan definisi selama mereka bergerak dari suatu situasi ke situasi yang lain. Setiap situasi atau aspek-aspeknya didefinisikan secara berbeda berdasar atas sejumlah alasan tertentu. Salah satu alasan adalah bahwa setiap pelaku selalu membawa serta masa lalu yang unik dan cara tertentu dalam menginterpretasikan yang mereka alami. Dari perspektif itu semua organisasi sosial terdiri dari para pelaku yang mengembangkan definisi tentang situasi atau perspektif lewat interpretasi dan selanjutnya mereka bertindak sesuai dengan makna tersebut.
Keempat, perspektif etnometodologi. Perspektif ini mengharuskan peneliti untuk berusaha memahami bagaimana orang-orang melihat, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia tempat mereka hidup. Sasaran penelitian ini berbeda dengan metode etnografi tradisional yang lebih menekankan sasaran studi pada pada masyarakat lain atau suku-suku terasing,  tetapi orang-orang dalam pelbagai macam situasi dalam masyarakat penelitinya.
Kelima, perspektif kebudayaan. Kalangan antropolog menggunakan konsep kebudayaan sebagai kerangka teoritis dalam melakukan pekerjaan riset mereka. Salah satu orientasi teori kebudayaan yang digunakan oleh antropolog untuk mempertajam penelitiannya adalah kebudayaan dipahami sebagai pengetahuan yang diperoleh seseorang dan digunakan untuk menafsirkan pengalaman dan menghasilkan perilaku (Spradley, 1980). Perilaku selalu didasarkan pada makna sebagai hasil persepsi terhadap kehidupan para pelakunya. Apa yang dilakukan, dan mengapa melakukan berbagai hal selalu dipengaruhi oleh latar kebudayaannya yang khusus. Budaya yang berbeda melatih orang secara berbeda pula dalam menangkap makna persepsi. Budaya merupakan cara khusus dalam mebentuk pikiran dan pandangan manusia (Cohen, 1971).
Teori-teori tersebut kemudian membentuk karakteristik penelitian kualitatif yang berbeda dengan penelitian kuantitatif. Karakteristik penelitian kualitatif yang dimaksud di antaranya: (1) setting-nya alamiah (tidak menggunakan perlakuan atau treatment); (2) holistik (tidak parsial, keutuhan makna hanya dapat dipahami bila dikaitkan dengan keseluruhan bagian-bagiannya); (3) analisis induktif; (4) analisis dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data; (5) desain penelitian bersifat tentatif; (6) perspektif emik; (7) peneliti sebagai instrumen kunci; (8) laporan dalam bentuk kasus.

3. Penerapan Teknik Penelitian Kualitatif

3.1 Jenis Penelitian Kualitatif

Menyangkut jenis penelitian, tidak terdapat perbedaan antara penelitian kualitatif dengan kuantitatif, yaitu meliputi penelitian dasar dan penelitian terapan. Hanya saja jenis penelitian dasar dalam riset kuantitatif umumnya berbentuk survey dan beragam rancangan percobaan. Dalam penelitian kualitatif umumnya berbentuk etnografis atau studi kasus. Dilihat dari tingkatannya, penelitian kualitatif dapat berupa eksploratif, deskriptif atau pun eksplanatif (hubungan kausal) sebagaimana halnya dalam penelitian kuantitatif. Namun penelitian kualitatif tidak merumuskan hipotesis, karena riset ini bersifat induktif atau didasarkan pada pemahaman lapangan atau konteks.
Untuk penelitian terapan, penelitian kualitatif sama halnya dengan kuantitatif yang meliputi penelitian kebijakan, evaluasi, dan pengembangan. Khusus untuk penelitian evaluasi yang merupakan bagian tak terpisahkan dari pengembangan masyarakat, penelitian kualitatif menggunakan penelitian aksi partisipatif (PAR – Participative Action Research). Kegiatannya tidak menggunakan cara uji coba, tetapi melaksanakan proses yang sesuai dengan keinginan masyarakatnya. Hasil akhir dari penelitian ini adalah bukan berupa model pengembangan yang akan diterapkan di tempat lain, karena peneliti sadar bahwa konteks yang berbeda memerlukan pengembangan yang berbeda pula.
Proses kegiatan penelitian evaluasi yang berorientasi bagi pengembangan adalah meliputi: (1) need assessment; (2) rancangan program; (3) kegiatan persiapan; (4) pelaksanaan program; (5) monitoring dan evaluasi; (6) pengembangan pelaksanaan; (7) evaluasi akhir program.
Evaluasi yang dilakukan secara bersamaan dengan monitoring untuk pengembangan program disebut sebagai evaluasi formatif . Sedangkan evaluasi yang dilakukan pada akhir program disebut sebagai evaluasi sumatif. Evaluasi formatif dilakukan dengan tujuan utama untuk menemukan kekuatan dan kelemahan selama masa pengembangan program sehingga dapat memberikan masukan bagi perbaikan pelaksanaan program selanjutnya. Evaluasi ini dilakukan oleh pembawa program secara bersama-sama dengan masyarakat yang menjadi sasaran program.
Dengan menggunakan pendekatan kualitatif untuk peneltian evaluasi formatif, maka pertanyaan utama yang hendak dijawab adalah (1) program  apa saja yang dapat berjalan? (2) apa yang belum berjalan dan apa penyebabnya; (3) apakah input secara menyeluruh sudah mencukupi? (4) apakah input dan prosesnya sesuai dengan kondisi dan karakteristik    masyarakatnya? Apa saja yang dapat dinyatakan sebagai dampak program? Bagaimana persepsi sasaran dan staf pelaksanaannya?
Sasaran utama evaluasi formatif adalah pada peningkatan kualitas program, dimana kepuasan mengenai kualitas memerlukan adanya data yang rinci dan mendalam mengenai kondisi sosial budaya dan lingkungan masyarakat; jenis dan kualitas input yang telah diberikan bagi berlangsungnya proses yang diharapkan; kelancaran dan kualitas proses pelaksanaan program serta hasil capaiannya.
Sementara itu, evalusi sumatif merupakan kegiatan penilaian yang bertujuan untuk menentukan seberapa jauh efektivitas dan efisiensi program secara menyeluruh, atau dengan kata lain untuk menilai hasil atau dampak dari program selama waktu yang telah ditentukan di dalam jangka waktu pelaksanaan, sesuai dengan yang direncanakan. Evaluasi ini semestinya dilakukan oleh pelaku di luar program.

3.2 Teknik Sampling

Teknik sampling adalah suatu proses bagi perumusan atau pemilihan siapa dan berapa banyak orang yang akan dijadikan sebagai sumber informasi. Sampling dalam penelitian kualitatif berbeda bentuknya dengan sampling dalam penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif menggunakan sampling statistik (probability sampling) yang mengarah pada usaha generalisasi statistik untuk merumuskan karakteristik populasi yang diwakili oleh sampling. Dalam penelitian kualitatif, sampling tidak diarahkan pada representasi jumlah yang mewakili populasi, melainkan representasi informasi yang sesuai dengan masalah penelitian. Karena itu, peneliti cenderung memilih informan yang dianggap mengetahui masalahnya secara lebih luas dan mendalam serta dapat dipercaya untuk menjadi sumber infprmasi atau data. Pemelihan informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan peneliti dalam memperoleh data yang akurat. Penentuan sampel semacam ini dikenal sebagai purposive sampling.
Kecuali itu, dalam penelitian kualitatif dikenal pula teknik sampling yang disebut time sampling dan snowball sampling. Time sampling adalah waktu yang dipilih oleh peneliti yang ia anggap paling tepat untuk mengunjungi informan guna mendapatkan data yang akurat. Sedangkan snowball sampling  adalah cara pemilihan informan yang didasarkan atas petunjuk informan I (pertama) ke informan ke II dan seterusnya dan tidak terencana sebelumnya hingga diperoleh data yang lebih lengkap dan mendalam berkenaan dengan masalah yang diteliti. Proses tersebut ibarat bola salju yang kecil, menggelinding dan semakin semakin besar.

 

3.3 Pengumpulan Data

 Dalam penelitian evaluasi formatif ada empat kategori data yang akan dikumpul meliputi: Konteks; input, proses, dan output. Sumber datanya adalah dapat berupa manusia, peristiwa, tingkah laku, benda, arsip dan dokumen. Keseluruhan sumber data tersebut menuntut adanya cara-cara tersendiri untuk mendapatkan data darinya.
3.3.1 Pengamatan Berperan Serta (participation observation)
Penggunaan teknik pengamatan dalam penelitian kualitatif dimaksudkan untuk menjaring data mengenai konteks penelitian yang meliputi manusianya; kondisi sarana dan prasarana (sosial budaya, ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan lingkungan); kegiatan program dan aktor yang terlibat, interaksi informal, dan bahasa yang digunakan.
Berbagai jenis data yang disebutkan di atas dapat dikumpulkan secara tepat dan akurat, bilamana peneliti terlibat di dalamnya untuk melihat dan mendengarkan serta merasakan apa yang terjadi, dimana, kapan, siapa yang terlibat, dan bagaimana sesuatu bisa terjadi.
Tingkat keterlibatan peneliti terhadap konteks penelitiannya, oleh Spradley (1980) dikelompokkan ke dalam empat tingkatan, yakni:
1.      Partisipasi pasif. Pengamat dalam hal ini sekalipun hadir di dalam konteks kegiatan yang diamati, namun ia tidak terlibat atau berinteraksi dengan orang-orang dan peristiwa atau kegiatan yang menjadi objek pengamatannya.
2.      Partisipasi moderat. Pengamat hadir dalam konteks yang diamati, berinteraksi dengan orang-orang dan objek yang diamatinya, namun ia senantiasa berupaya memposisikan dirinya sebagai pengamat.
3.      Partisipasi aktif. Pengamat senantiasa berupaya melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang menjadi objek pengamatannya.
4.      Partisipasi sempurna. Pengamat senantiasa mempelajari situasi dan berpartisipasi setiap hari pada semua kegiatan yang berkaitan dengan konteks penelitiannya.

3.3.2 Wawancara Mendalam
Jenis data yang dikumpul dengan menggunakan teknik wawancara mendalam meliputi pengalaman, pendapat dan kepercayaan/keyakinan, pengetahuan mengenai program, norma, nilai, sikap, harapan, orientasi, pandangan dan tanggapan. Untuk mendapatkan data semacam itu memerlukan syarat-syarat tertentu, seperti: (1) hubungan antara pewawancara dengan informan telah terjalin secara relatif akrab; (2) waktu wawancara sesnantiasa disesuaikan dengan saat dimana informan siap untuk diwawancarai; (3) wawancara dilakukan secara lugas dan non formal; (4) bahasa yang digunakan dalam wawancara adalah bahasa yang paling dikuasai oleh informan.
Dalam pelaksanaan wawancara, sekalipun dilakukan secara lugas dan non formal, namun wawancara harus selalu dalam bingkai fokus penelitian. Untuk itu, peneliti harus menyusun pedoman wawancara (interview guide) agar wawancara tetap terarah pada fokus penelitian. Tetapi, jika terdapat masalah tertentu yang dianggap relevan dengan fokus penelitian, namun tidak tercantum dalam pedoman wawancara, maka hal tersebut harus ditanyakan.
Menurut Spradley (1979), wawancara mendalam non formal mengandalkan pada tiga bentuk pertanyaan:
1.            Pertanyaan deskriptif. Sebagai contoh dapatkan Bapak/Ibu menggambarkan kepada saya tentang kegiatan Posyandu?
2.            Pertanyaan struktural. Sebagai contoh, Bapak/ibu tadi telah menyebutkan berbagai kegiatan yang telah dilakukan oleh Posyandu, Apa saja kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang yang terlibat dalam Posyandu?
3.            Pertanyaan perbandingan. Sebagai contoh, Bapak/Ibu tadi mengatakan bahwa ada dua kader yang senantiasa terlibat dalam kegiatan Posyandu, Apa saja persamaan dan perbedaan di antara kedua kader tersebut?

3.3.3 Focus Group Diskusi (FGD)
1. Peserta FGD
Peserta FGD harus mewakili sasaran/target program. Ciri utama peserta harus ditentukan secara jelas sesuai dengan tujuan program, yang meliputi: jenis kelamin, usia, suku bangsa, dan tingkat penghasilan. Pengumpulan peserta yang ideal adalah peserta tidak saling mengenal atau tidak mengetahui masalah yang akan dibicarakan dalam FGD. Jumlah orang yang dipilih adalah antara 6 s/d 10 orang.
2. Tempat FGD
FGD hendaknya diselenggarakan doi tempat yang tenang dan cukup untuk 12 orang peserta (peserta, fasilitator dan pencatat). Pencatat duduk di dekat fasilitator. Pencatat harus terlatih mencatat diskusi dan observasi reaksi kelompok yang non-verbal seperti ekspresi wajah. Pencatat tidak ikut serta berdiskusi. Alternatif lain, pembicaraan seluruhnya direkam.
3. Fasilitator FGD
Fasilitator FGD sebaiknya berjenis kelamin yang sama dengan poserta. Ia harus dapat menggunakan bahasa yang sama dengan yang digunakan oleh peserta. Fasilitator harus menguasai topik diskusi. Dengan pemahaman yang luas dan mendalam tentang topik akan memudahkannya untuk mengajukan probing (pertanyaan pendalaman) tentang pernyataan-pernyataan yang muncul dalam diskusi. Selain itu, fasilitator juga harus mampu mengembangkan hubungan yang cair dengan peserta serta mampu menciptakan suasana yang memungkinkan peserta mengeluarkan pendapatnya tanpa malu-malu.

SEORANG FASILITATOR YANG BAIK
Kerjakan
Jangan Kerjakan
·      Menunjukkan fleksibilitas
·      Menujukkan kepekaan
·      Humoris
·      Mampu menyatukan gagasan
·      Secara aktif ikut memberi semangat kepada setiap peserta untuk berperan serta dalam kelompok
·      Mendiktekan arah diskusi
·      Lepas kontrol dalam pem-bicaraan
·      Membimbing atau menggurui peserta sampai selesai
·      Bersikap seperti seorang ahli
·      Mengalihkan diskusi menjadi tanya jawab

4. Sesi FGD
Pelaksanaan FGD diawali dengan perkenalan diri fasilitator dan notulen, dan selanjutnya fasilitator meminta kepada peserta untuk memperkenalkan diri. Setelah itu, fasilitator memperkenalkan topik untuk didiskusikan dan meyakinkan peserta bahwa informasi yang disampaikan akan dirahasiakan dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Jika menggunakan tape recorder, minta ijinlah dan jelaskan apa fungsi tape recorder.
Fasilitator memulai diskusi dengan topik yang sudah dirancang dalam pedoman FGD. Selama diskusi, fasilitator menggunakan pedoman untuk memeriksa apakah semua topik sudah didiskusikan. Ia hendaknya tidak kaku dalam urutan topik sebab topik diskusi akan tergantung pada minat kelompok.

3.4 Dokumen/Arsip
            Dokumen dan arsip mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan fokus penelitian merupakan salah satu sumber data yang penting dalam penelitian/evaluasi. Dokumen yang dimaksud dapat berupa dokumen tertulis, gambar/foto, atau film audio-visual. Data statistik, laporan penelitian, tulisan-tulisan ilmiah merupakan dokumen penting yang perlu ditelusuri untuk memperkaya data yang dikumpulkan. Pengumpulan data untuk kegiatan evaluasi program dapat dilakukan pula dengan mempelajari laporan kemajuan dari perlakuan program.

3.5 Catatan Lapangan (Fieldnote)
            Hasil penelitian yang diperoleh melalui pengamatan dan wawancara mendalam dan FGD harus ditulis menjadi catatan lapangan. Catatan lapangan yang dimaksud di sini adalah bukan catatan yang dibuat sewaktu melaksanakan pengamatan dan wawancara di lapangan, melainkan catatan yang ditulis setelah pulang ke rumah. Catatan yang dikumpul di lapangan diubah ke dalam bentuk catatan yang lebih lengkap. Proses itu harus dilakukan setiap kali selesai melakukan pengamatan dan wawancara, tidak boleh dilalaikan sebab akan tercampur dengan informasi lain dan ingatan seseorang itu sifatnya terbatas. Menurut Bogdan dan Biklen (1982) catatan lapangan adalah catatan tertulis mengenai apa yang dilihat, didengar, dialami dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan data dan refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif.


3.6 Bentuk Catatan Lapangan
            Catatan lapangan dapat dibagi atas tiga jenis, yakni: (1) catatan pengamatan dan wawancara; (2) catatan teori; (3) catatan metodologi. Pembuatan catatan lapangan harus berisi judul informasi yang dijaring, waktu yang terdiri dari jam, tanggal dan tempat pelaksanaan kegiatan pengamatan dan wawancara, dan waktu penyusunan catatan lapangan, dan diberi nomor urut sebagai bagian dari keseluruhan perangkat catatan lapangan. Sebagai contoh:

Demonstrasi                                                    Catatan Lapangan No. 1
Rt II, Kec. ……..                                               Pengamatan tgl 2-6-2002
Kabupaten/kota                                                Jam 10.00 – 12.00
                                                                         Disusun jam 20.15


………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
Tanggapan pengamat
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..

3.7 Validasi Data
            Data yang telah dikumpulkan wajib diusahakan kemantapan dan kesahihannya. Artinya setiap peneliti harus menentukan suatu cara guna meningkatkan validitas data yang diperolehnya, demi kemantapan kesimpulan dan tafsir makna penelitiannya. Dalam penelitian kualitatif terdapat tiga bentuk validasi data, yakni trianggulasi, review informan, dan member check.

Triangulasi
            Triangulasi merupakan cara yang paling umum digunakan dalam memvalidasi data pada penelitian kualitatif. Patton (1984) menyatakan bahwa ada empat macam triangulasi:
1. Triangulasi data
     Penelitian dengan menggunakan sumber data yang berbeda untuk mengumpulan data yang sejenis atau sama. Sebagai contoh data tentang kegiatan Posyandu yang diperoleh melalui wawancara dengan kader dapat dibanding-cocokkan dengan data yang diperoleh dari masyarakat yang menjadi pengguna Posyandu.
2. Triangulasi penelii
Data sejenis yang sejenis dikumpulkan oleh beberapa orang peneliti. Cara praktis yang dapat dilakukan adalah diskusi antar-peneliti untuk membahas suatu data atau fenomena yang ada ada kelompok sasaran program. Cara ini akan meningkatkan validitas data yang diperoleh sekaligus untuk memperkaya analisis.
3.Triangulasi metode
     Trianggulasi metode merupakan pengembangan data yang sejenis dengan menggunakan metode-metode yang berbeda. Sebagai contoh data tentang pendapat masyarakat mengenai program yang dilaksanakan, dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan FGD.
4.Triangulasi teori
     Pembahasan masalah dengan menggunakan beberapa perspektif teoritis yang berbeda, misalnya masalah dalam masyarakat dipandang dari perspektif sosiologis, psikologis, dan budaya.

3.8 Review Informan
            Laporan penelitian direview oleh informan (khususnya informan kunci) untuk mengetahui apakah yang ditulis merupakan suatu yang dapat disetujui oleh mereka. Dalam hal ini kadang-kadang memerlukan diskusi agar pengertian kedua belah pihak dicapai kesepakatan.
3.9 Member Check
            Laporan diperiksa oleh kelompok peneliti lain untuk mendapatkan pengertian yang tepat atau menemukan kekurangan-kekurangan untuk diperbaiki.
Robert K Yin (1987) menyatakan bahwa pokok-pokok pengumpulan data yang harus selalu diingat oleh peneliti, selain triangulasi yang ia sarankan dengan menggunakan sumber data ganda, untuk meningkatkan validitas bagi tercapainya mutu penelitian disarankan dua cara yaitu:
·      Penyusunan data base
Yang merupakan bukti data yang telah dikumpulkan dalam segala bentuknya: deskripsi, skema, matriks, rekaman dll guna memudahkan review serta penelusuran kembali proses penelitian pada waktu diperlukan.
·      Penyusunan mata rantai berkaitan semua bukti penelitian
Dilakukan untuk meningkatkan realibilitas informasi penelitian. Prinsip ini didasarkan atas pemikiran yang sama seperti dalam kriminologi. Tujuannya adalah agar pengamat atau pembaca dapat memahami asal dan penemuan setiap bukti data, dari awal pertanyaan riset sampai dengan kesimpulan akhir. Demikian pula pembaca dapat meneliti mundur untuk mengetahui asal mula dari kesimpulan yang disusun. Kejelasan kaitan bukti ini memungkinkan untuk melakukan penelusuran kembali guna mengetahui ada atau tidaknya bias dalam penelitian.

3.10 Analisis Data
            Proses analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada waktu bersamaan dengan proses pengumpulan data berlangsung. Analisis data dilakukan melalui tiga alur, yakni: (1) reduksi data, (2) sajian data, dan (3) penarikan kesimpulan ataupun verifikasi.
1.   Reduksi data
Pada tahap ini dilakukan proses penyeleksian, pemfokusan, penyederhanaandan pengabstraksian data dari field note. Proses ini berlangsung sepanjang penelitian dilakukan dengan membuat singkatan, coding, memusatkan tema, menentukan batas-batas permsalahan dan menulis memo. Proses reduksi ini berlangsung terus sampai laporan akhir penelitian seselsai ditulis. Reduksi data merupakan bentuik analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat foksus, membuang hal yang tidak penting dan mengatur sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan.


2.   Sajian data
Sajian data adalah suatu rakitan organisasi informasi yang memungkinkan kesimpulan penelitian dapat dilakukan. Dengan melihat sajian data, peneliti dapat lebih memahami berbagai hal yang terjadi dan memungkinkannya untuk mengerjakan sesuatu pada analisis atau pun tindakan lain berdasarkan pemahamannya tersebut. Sajian data yang baik dan jelas sistematikannya akan banyak membantu peneliti sendiri. Sajian data dapat meliputi deskripsi, matriks, gambar/skema, dan tabel. Kesemuanya itu dirancang guna merakit informasi secara teratur supaya mudah dilihat dan dimengerti dalam bentuk yang kompak.
3.   Penarikan Kesimpulan
Dari awal pengumpulan data peneliti sudah harus memahami apa arti dari berbagai hal yang ia temui dengan mulai melakukan pencatatan pola-pola, pernyataan-pernyataan, konfigurasi-konfigurasi, alur sebab-akibat dan berbagai proposisi. Hal itu akan diverifikasi dengan temuan-temuan data selanjutnya dan akhirnya sampai pada penaikan kesimpulan akhir yang harus dilakukan adalah dengan cara berdiskusi atau saling bertukar memeriksa antar peneliti untuk mengembangkan apa yang disebut konsensus antar subjektif.

Kepustakaan

Bogdan, R.C. & Biklen, S.K. (1982). Qualitative research for education: An introduction to theory and methods. Boston, Mass: Allyn and Bacon, Inc.

Bogdan, R.C & Tylor, S.J. (1975). Inttroduction to qulaitative research methods. New York, N.Y.: John Willey & Sons.

Bungin, Burhan (ed.) (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Lincoln, Y.S. & Guba, E.G. (1985). Naturalistic inquiry. Baverly Hills, CA.: Sage Publications.

Miles, M.B. & Huberman, A.M. (1992). Analisis data kualitatif (Terjemahan Tjetjep Rohendi rohidi). Jakarta: UI-Press.

Moleong, L.J. (1997). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Spradley, J.P. (1979). The ethnographic interview. New York : Hold, Rinehart & Winston.
Spradley, J.P. (1980) . Partipant observation. New York, N.Y.: Holt, Rinehart, and Winston.

Yin, R.K. (1987). Case study research: Design and methods. Baverley Hills, CA.: Sage Publications.





Komentar

Postingan Populer