Kompetensi Defenisi Sosiologi
Oleh
Wirasandi
I.         Kompetensi Defenisi Sosiologi
·         Kompetensi Sosiologi sebagai disiplin ilmu pengetahuan (science) dan pengetahuan (knowledge)
Dalam wacana filsafat ilmu, antara ilmu pengetahuan (science) dibedakan dengan pengetahuan (knowledge). Ilmu pengetahuan menurut Mulyadhi Kartanegara adalah, “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya.”[1] Atau dalam pemakaian lain, ilmu pengetahuan dapat juga diartikan sebagai “pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar atau prinsip yang dikaji.”[2] Secara sederhana ilmu pengetahuan adalah any organized knowledge, systematic, and verificated”.[3]
Sedangkan pengetahuan menurut IR Poedjawijatna adalah, “hasil dari kerja tahu,.[4] Atau menurut Drs. Mundiri, pengetahuan adalah, “hasil dari aktivitas mengetahui.”[5] Berdasarkan defenisi tersebut, maka dapat kita simpulkan bahwa titik tekan dari pengetahuan (knowledge) hanyalah pada “mengetahui”, yang menurut Drs. Mundiri adalah,  “tersingkapnya suatu kenyataan di dalam jiwa, hingga tiada keraguan di dalamnya.”[6] Sedangkan ilmu pengetahuan (science) sangat menekankan penjelasan lebih lanjut dan mendetail dari suatu pengetahuan.[7] Dengan kata lain, ilmu pengetahuan merupakan pembuktian secara metodologis dan ilmiah yang menghasilkan penjelasan yang sistematis tentang pengetahuan terhadap suatu objek tertentu.
Berdasarkan perbedaan atas ilmu pengetahuan (science) dan pengetahuan (knowledge) tersebut. Sosiologi,[8] sebagai disiplin ilmu pengetahuan (science) mengkaji tentang seluruh aspek-aspek yang terkait dengan masyarakat secara ilmiah. Menurut Doyle Paul Johnson, aspek-aspek masyarakat yang menjadi kajian sosiologi secara umum terbagi dalam tiga klasifikasi, yaitu ; pola-pola budaya (tata nilai, norma, dan pandangan hidup), struktur sosial (startifikasi sosial, diferensiasi sosial, dan pembagian kerja), serta hubungan antar pribadi (kerjasama dan konflik).[9] Keseluruhan aspek-aspek masyarakat tersebut dikaji dan dapat dipertanggungjawabkan secara metodologis berdasarkan kerangka metode ilmiah, dapat diverifikasi secara objektif, serta mampu dijelaskan secara sistematis berdasarkan hubungan kausal antar aspek-aspek masyarakat tersebut.
Sedangkan sosiologi sebagai pengetahuan (knowledge) adalah study terhadap seluruh aspek masyarakat tanpa mensyaratkan metode ilmiah, objetifitas, serta penjelasan sistematis. Melainkan study terhadap aspek-aspek masyarakat yang hanya mendasarkan pengalaman sehari-hari, serta pengambilan kesimpulan atau teori yang dilakukan tidak secara mendetail dan komprehensif.
·         Kompetensi rumpun ilmu pengetahuan (ilmu sosial, eksakta, dan humaniora)
Pengetahuan terbagi atas tiga rumpun utama, yaitu ilmu eksakta atau ilmu alam, ilmu sosial, dan ilmu humaniora. Ilmu eksakta atau ilmu alam adalah ilmu yang mengkaji hukum-hukum alam yang bersifat pasti yang bertujuan untuk penguasaan alam, dan menghasilkan ilmu biologi, fisika, kima, dan lain-lain[10] Sedangkan ilmu sosial dan humaniora adalah ilmu pengetahuan yang objek materialnya adalah sama, yaitu manusia. Hanya saja kedua rumpun ilmu pengetahuan tersebut memiliki objek formal yang berbeda. Ilmu humaniora memiliki objek manusia secara mikro atau pembentukan kepribadian manusia sebagai individu. Ilmu humaniora menghasilkan ilmu psikologi, pendidikan, dan etika. Sedangkan ilmu sosial memiliki objek formal yaitu manusia secara makro atau masyarakat, yang mencakup sosiologi, politik, ekonomi, hukum, dan antropologi.[11]
Sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan, termasuk ke dalam kategori ilmu-ilmu sosial. Hal ini dikarenakan sosiologi mengkaji masyarakat secara umum berdasarkan aspek-aspek sosial yang dihasilkannya serta hukum-hukum sosial yang berlaku di masyarakat.[12] Berbeda dengan ilmu eksakta yang bersifat pasti, karena hukum alam yang bersifat tetap, ilmu-ilmu sosial (termasuk sosiologi) bersifat tidak pasti atau fleksibel, karena fenomena masyarakat adalah realitas yang senantiasa dinamis berbeda dengan realitas alam yang statis. Atau paling tidak derajat kepastian ilmu-ilmu alam atau eksakta lebih tinggi dibandingkan derajat kepastian ilmu sosial.
·         Kompetensi metodologis bagi kepentingan keilmuan (pure) dan praktis (applied)
Dalam dunia keilmuan, metodologi[13] adalah ciri yang sangat signifikan dalam menentukan validitas suatu ilmu pengetahuan secara ilmiah. Menurut Dony Gahrial Adian, metodologi adalah, “Bagian dari sistematika filsafat yang mengkaji cara-cara mendapatkan ilmu pengetahuan.”[14] Metodologi tidak memfokuskan diri pada cara pemerolehan ilmu tertentu saja, melainkan ilmu pengetahuan pada umumnya.  Objek kajian metodologi adalah ilmu pengetahuan, sedangkan formanya adalah cara kerja ilmu pengetahuan.
Secara teoritis (pure), metodologi berorientasi untuk menyusun pertanyaan-pertanyaan mendasar dan melakukan refleksi terhadap kegiatan keilmuan manusia. Refleksi tersebut bermaksud untuk merumuskan, mengkritik, dan memperbaiki aturan-aturan untuk kegiatan keilmuan. Selain itu, secara teoritis metodologi juga berorientasi untuk mengintegrasikan seluruh kegiatan keilmuan ke dalam kerangka pemahaman manusia yang lebih luas tentang dunia dan kehidupan.[15]
Secara praktid (applied), metodologi merumuskan langkah-langkah keilmuan bagi seorang peneliti, serta memberikan tuntunan dan pedoman yang terarah dalam langkah pencapaian ilmu pengetahuan, baik sosial maupun eksakta. Lebih jauh lagi, metodologi bertujuan untuk melukiskan dan menganalisis cara kerja ilmu pengetahuan yang sudah berlaku dan menentukan cara kerja yang absah, serta kemudian dapat melihat kemungkinan-kemungkinan metode-metode baru sehubungan dengan gejala-gejala (fakta-fakta) yang belum terpahami.[16]
·         Kompetensi teori-teori sosiologi bagi pengembangan ilmu pengetahuan (pure) dan kehidupan sosial (applied)
Sebagai study tentang masyarakat, sosiologi memberikan uraian deskriptif mengenai seluruh aspek masyarakat, dengan mengkaji dan menganalisis fenomena kemasyarakatan maka dapat dilaukan pengembangan segenap keilmuan manusia dan mengintegrasikannya dengan manusia sebagai subjek sekaligus objek ilmu pengetahuan. Sehingga segenap keilmuan yang terbangun dapat benar-benar menyentuh realitas kemanusiaan serta menjawab segenap kebutuhan manusia.
Teori-teori dalam ilmu sosial adalah hasil dari suatu perspektif atau cara pandang dalam meneropong kehidupan masyarakat.[17]. Bagi kehidupan sosial deskripsi mengenai masyarakat yang diberikan oleh teori-teori sosial berkompetensi untuk merefleksikan tatanan nilai dan norma yang mengatur masyarakat, serta membenahi struktur sosial kemasyarakatan, sehingga dapat dilakukan pengembangan masyarakat menuju perubahan yang progresif dan konstruktif.
II.      Peta kompetensi Sosiologi
·         Kajian ilmiah (metodologis dan pendekatan pemahaman)
Menurut Goerge Ritzer, pendekatan dalam mengkaji masyarakat sebagai objek sosiologi terbagi kedalam tiga paradigma utama, yaitu paradigma fakta sosial, paradigma defenisi sosial, dan paradigma prilaku sosial.[18] Paradigma fakta sosial  menganggap bahwa persoalan pokok yang menjadi pusat perhatian sosiologi adalah fakta sosial (masyarakat)  Fakta sosial adalah realitas real dan berada di luar individu, serta fakta sosial tak dapat direduksi sebatas fakta individu. Paradigma defenisi sosial menekankan bahwa fakta sosial (masyarakat) bersifat subjektif lebih daripada eksistensinya yang terlepas dari individu  Sedangkan paradigma prilaku sosial dalam mengkaji masyarakat lebih menekankan pada prilaku sosial dan perulangannya [19]
Dalam mengembangkan dirinya sebagai ilmu pengetahuan, sosiologi menggunakan dua metode penelitian tentang masyarakat, yaitu penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Kedua jenis penelitian ini memiliki hubungan dengan asumsi dasar mengenai teori yang dibangun oleh paradigma fakta sosial yang menganggap realitas sosial sebagai kenyataan obyektif yang berada di luar individu dan paradigma defenisi sosial yang memandang bahwa kenyataan sosial adalah hasil interpretasi atau defenisi seorang individu.[20]
Penelitian kuantitatif bertolak dari asumsi bahwa realitas sosial adalah fakta atau fenomena yang berada diluar individu. Tugas seorang peneliti adalah membuat studi tentang fakta atau fenomena sosial tersebut agar mudah dipahami. Penelitian kuantitatif mendasarkan penelitiannya pada kerangka teori yang menjadi penuntun dalam melakukan penelitian. Oleh karena itu, penelitian kuantitatif menggunakan pendekatan deduktif dalam metodenya, yaitu berangkat dari teori lalu turun ke lapangan untuk mengumpulkan data. Sedangkan penelitian kualitatif bertolak dari asumsi dasar bahwa realitas sosial (masyarakat) tidak memiliki maknanya sendiri, melainkan sangat bergantung pada interpretasi atau arti yang diberikan oleh seorang individu. Dari segi prosedur pelaksanaannya penelitian kualitatif menggunakan pendekatan induktif. Tidak berangkat dari teori sebelum turun ke lapangan, melainkan terlebih dahulu turun ke lapangan kemudian dari pengamatannya itulah lahir teori-teori atau asumsi-asumsi tertentu.[21]
·         Sistem tata nilai (normatif) (dan peta konsep)
Nilai adalah gambaran dari apa yang diinginkan, yang pantas dan yang berharga serta yang mempengaruhi tingkah laku seseorang.[22] Dalam teori sosial, nilai masuk dalam kategori pola-pola budaya.[23] Dalam kehidupan bermasyarakat, tata nilai memegang peranan yang sangat fundamental dalam suatu komunitas sosial Secara sosiologis, tata nilai adalah adalah sekumpulan standar yang dibangun secara konvensional oleh masyarakat dalam suatu komunitas sosial tentang pandangan mengenai kehidupan. Tata nilai dalam suatu komunitas sosial terinternalisasi dalam pandangan hidup, ideologi, dan keyakinan yang menjadi dasar acuan dalam hidup bermasyarakat. Kemudian tata nilai tersebut terinstitusionalisasikan dalam bentuk lembaga kebudayaan, adat istiadat, dan agama sebagai institusi nilai dalam masyarakat. Institusi nilai tersebut kemudian menjabarkan sejumlah tata aturan, norma, dan hukum yang mengatur pola hidup bermasyarakat. Dan akhirnya, secara praksis tata nilai tersebut terejawantahkan berupa kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan baik secara kolektif maupun individual oleh individu yang tergabung dalam masyarakat.
·         Struktur sosial (sosial statis) (dan peta konsep)
Struktur sosial dalam artian sosiologis berarti unsur-unsur atau komponen-komponen yang harus selalu ada di dalam masyarakat, supaya masyarakat itu bisa bertahan.[24] Dengan demikian struktur sosial menjadi suatu penentu terbangunnya pola-pola interaksi individu dan kelompok dalam suatu komunitas sosial (masyarakat). Struktur sosial merupakan implementasi praktis dari sistem tata nilai yang dianut secara kolektif oleh suatu masyarakat, dalam bentuk interaksi antara elemen-elemen masyarakat (individu dan kelompok sosial). Hal ini senada dengan defenisi Max weber mengenai struktur sosial, yaitu “Hubungan sosial secara keseluruhan dan secara eksklusif terjadi karena adanya probabilitas di mana akan ada suatu arah tindakan sosial dalam suatu pengertian yang dapat dimengerti secara berarti.”[25]
Struktur sosial terfragmentasi dalam bentuk kelompok-kelompok sosial, dan organisasi sosial. Kelompok sosial yaitu suatu kumpulan yang terdiri dari sejumlah orang yang saling berinteraksi secara tetap dan terlibat secara kolektif dalam suatu kegiatan bersama. Menurut Hendropuspito, kelompok sosial adalah suatu kumpulan yang nyata, teratur, dan tetap dari orang-orang yang melaksanakan peran-perannya yang saling berkaitan guna mencapai tujuan bersama.[26] Berbeda dengan kelompok sosial sosial, organisasi sosial memiliki ruang lingkup yang lebih luas, dan terkadang mencakup beberapa kelompok-kelompok sosial.
Struktur sosial dalam artian luas, terwujud dalam bentuk-bentuk institusi sosial yang berfungsi untuk memenuhi salah satu atau lebih kebutuhan masyarakat.[27] Struktur sosial, baik dalam kelompok, organisasi, maupun institusi sosial memiliki pola hirarki yang mengatur peran-peran individu berdasarkan tingkatan-tingkatan posisi dan peran yang dimainkannya. Stratifikasi sosial dalam suatu komunitas masyarakat, yang kemudian berkembang hingga hirarki kepemimpinan (struktur sosial politik) yang terbentuk dalam suatu masyarakat. Terkadang bersifat eksklusif dalam artian secara determinis setiap individu yang tergabung dalam struktur sosial memiliki posisi dan peran yang pasti dan tak bisa berubah. Selain itu, dikenal juga pola stratifikasi sosial yang bersifat inklusif yang menyisakan kelonggaran bagi setiap individu untuk berganti peran dan berpindah posisi, baik naik maupun turun.
·         Proses sosial (sosial dinamis) (dan peta konsep)
Fitrawi manusia yang merupakan makhluk yang senantiasa dinamis dan sekaligus sebagai makhluk sosial meniscayakan terjadinya sebuah proses sosial. Sebagaimana dikatakan oleh George Simmel, Peter Berger, dan beberapa tokoh sosiologi lainnya yang menyatakan bahwa lahirnya suatu masyarakat dikarenakan terjadinya antar individu yang menjadi elemen utama pembentuk masyarakat. Oleh karena itu, adanya interaksi sosial dengan segala implikasinya melahirkan suatu proses sosial dalam masyarakat.
Goerge Simmel, seorang tokoh interaksionisme simbolik menyatakan bahwa dengan adanya inetraksi antar individu lahirlah suatu proses yang disebut “sosiasi”. Sosiasi, yaitu  “suatu pross interaksi timbal balik dimana individu saling berhubungan dan saling mempengaruhi”.[28] Interaksi sosial yang terjadi antar individu maupun kelompok sosial menghasilkan berbagai implikasi sosiologis, baik positif maupun negatif. Jika terjadi pertautan atau kesesuaian antara individu yang saling berinteraksi maka terjadilah proses asosiasi, di mana antar individu yang berinteraksi tersebut terbangun suatu hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan.[29] Namun, tak selamanya proses interaksi yang terjalin  berjalan mulus, disharmoni yang terjadi dalam suatu interaksi sosial disebabkan munculnya hasrat dominasi dan hegemoni dari seorang indivdu terhadap individu lainnya yang saling berinteraksi. Proses interaksi yang tidak berjalan secara harmonis melahirkan efek disasosiasi atau suatu keadaan dalam interaksi di mana tidak terjadi kesesuaian antara satu individu dengan individu yang lainnya.[30]
Disasosiasi dalam suatu proses sosial yang disebabakan oleh kecendrungan domiansi dan hegemoni oleh seorang individu atau kelompok sosial terhadap yang lainnya, akan melahirkan alienasi dan marginalisasi individu atau kelompok sosial tertentu dalam suatu komunitas sosial. Individu atau kelompok sosial yang terdominasi dan terhegemoni mengalami alienasi atau keterasingan dalam lingkungan sosiologis akibat hegemoni dan dominasi yang dilakukan terhadapnya. Individu yang mengalami alienasi dikarenakan deprivasi individu yang terjadi, akibat proses sosial yang terjadi membuat ia merasa tak bermakna dan tak mampu melakukan dinamisasi progresif. Pada lingkup peran-peran sosial, hal ini menghasilkan marginalisasi peran pada individu dan kelompok sosial tertentu. Hadirnya sebagian individu atau kelompok sosial yang mendomiansi peran-peran sosial, membuat sebagian individu dan kelompok sosial yang lain menjadi terpinggirkan peran-perannya dalam masyarakat.[31] Akibatnya terjadi disparitas antara elemen-elemen sosial, dan akhirnya melahirkan berbagai ketimpangan dalam seluruh pola-pola sosial masyarakat, dan hal ini akan berefek pada terjadinya patologi sosial.
Terjadinya proses interaksi yang harmonis antar individu dalam suatu masyarakat, menghasilkan suatu proses yang disebut dengan sosialisasi, yaitu “proses mempelajari dan menghayati norma, nilai peran, dan semua persyaratan lainnya supaya seorang individu bisa berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat.”[32] Proses sosialisasi akhirnya secara alamiah terinstitusionalisasi dalam institusi-institusi sosial yang berperan untuk memeuhi kebutuhan masyarakat. Dengan kesadaran yang terbangun atas peran-peran yang mesti dilakukan institusionalisasi melahirkan proses mobilita sosial. Mobilitas sosial terjadi akibat adanya upaya komformitas antar individu atau kelompok sosial. Namun, tak selamanya mobilitas sosial berjalan lancar. Deviasi merupakan riak-riak yang sering terjadi dan menghambat gerak laju mobilitas sosial. Terjadinya deviasi dalam suatu lingkungan sosial biasanya disebabkan oleh disharmoni peran dalam suatu institusi sosial. Dalam upaya meminimalisisr terjadinya deviasi dalam laju mobilitas sosial, mesti terbangun secara efektif peran-peran sosial yang dilakukan social order (pelaku sosial) serta dilakukan pengawasan yang ketat dan kontrol sosial terhadap social order.
Hal lain yang merupakan bagian dari proses sosial adalah terjadinya prilaku kolektif dan gerakan sosial. Prilaku kolektif adalah fenomena yang selalu terjadi pada suatu masyarakat. Prilaku kolektif atau tindakan kolektif adalah “tindakan yang dilakukan oleh orang secara ramai.”[33] Prilaku kolektif biasanya disebabkan oleh terjadinya deviasi dalam mobilitas sosial. Prilaku kolektif yang berlangsung kontinyu disebut sebagai gerakan sosial.[34] Pihak-pihak yang merasa adanya ketimpangan kemudian berinisiatif untuk melakukan pembenahan sosial. Sekalipun demikian secara praktis prilaku kolektif sering kali menghasilkan tindakan-tindakan destruktif. Prilaku kolektif atau gerakan sosial bisa dilakukan oleh individu yang tergabung dalam suatu kelompok sosial, namun bisa juga terjadi oleh gabungan kelompok-kelompok sosial yang memiliki visi sama. Gerakan sosial yang digerakkan oleh hubungan antar beberapa kelompok sosial, biasanya akan melahirkan suatu proses perubahan sosial budaya dalam skala luas. Perubahan sosial budaya adalah, proses transformasi yang terjadi dalam struktur masyarakat dan dalam pola pikir dan pola tingkah laku yang berlangsung dari waktu ke waktu.”[35]

·         Lingkungan sosial (ekologi sosial/social space/social enviorimental) (dan peta konsep)
Seluruh aspek yang terkait dengan masyarakat, baik tata nilai, struktur, dan perubahan sosialnya sangat ditentukan oleh kondisi ekologis (lingkungan alam) yang melingkupi masyarakat tersebut berdiam. Kondisi ekologis masyarakat menurut penulis, secara umum dapat dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu lingkungan geografis dan iklim. Kondisi lingkungan alam yang melingkupi suatu masyarakat, secara umum membagi masyarakat pada masyarakat agraris, masyarakat maritim (pesisir), dan masyarakat pedalaman (hutan). Perbedaan mendasar yang menentukan perbedaan aspek-aspek sosial yang terbangun pada masyarakat tersebut didasarkan pada perbedaan mata pencaharian.
Masyarakat agraris yang sebagian besar bermata pencaharian pada sektor pertanian sistem nilai, budaya, keyakinan (religi), dan norma yang terbentuk didominasi oleh corak agraris. Misalnya pada kebuadayaan materil yang lebih didominasi pada alat-alat pertanian, sistem praktek religi yang lebih berorientsi pada kesuburan tanah dan hasil pertanian, norma yang mengatur pembagian kerja dan hasil pertanian. Demikian pula pada struktur sosial yang terbangun, dimana dalam stratifikasi sosial masyarakat agraris biasanya terdiri dari dua kelas utama, yaitu kelas pemilik tanah dan kelas petani penggarap. Proses sosial yang terjadi pada umumnya berbanding lurus dengan intensitas dari hasil kerja pertanian dan tingkat kesuburan tanah.
Demikian pula pada masyarakat pesisir yang umumnya mendasarkan kehidupannya pada hasil lauit serta masyarakat hutan yang sektor kehidupannya sangat bergantung pada berburu dan meramu. Pada masyarakat pesisir, sebagaimana masyarakat agraris seluruh aspek kehidupan masyarakat yang terbentuk sangat berorientasi maritim.[36] Kehidupan komunal mendominasi seluruh tatanan sosial yang terbangun dalam masyarakat hutan, hal ini dikarenakan tidak adanya kepemilikan pribadi secara berlebih atas suatu indvidu. Dengan demikian stratifikasi sosial yang terbangun hanya pada stratifikasi kepemimpinan politis antara kepala suku (kepala kelompok) dengan masyarakatnya. Proses sosial yang terjadi cenderung monoton dan statis.
Perbedaan aspek-aspek sosial yang terbentuk pada daerah yang berbeda iklim pun sangat terlihat antara daerah yang beriklim tropis dan daerah yang beriklim subtropis. Tata nilai, sruktur sosial, dan proses sosial antara masyarakat tropis dan sub tropis sangat berbeda. Hal ini terlihat pada aspek-aspek sosial yang terbangun sepanjang perkembangan sosial masyarakat Eropa dan belahan bumi Barat yang beriklim subtropis dengan sebagian besar wilayah Asia dan Amerika Latin yang beriklim tropis sangat berbeda
·         Yang baku dan belum baku
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tingkat kepastian ilmu sosial tidak sebagaimana ilmu eksakta yang bersifat tetap. Oleh karena itu, pola-pola sosial masyarakat dan arus sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat bersifat fleksibel. Namun, secara umum berdasarkan perkembangan historis masyarakat dapat ditarik suatu kesimpulan umum mengenai pola-pola sosial yang diatur berdasarkan hukum-hukum historis masyarakat yang bersifat baku (tetap) demikian pula pada arus perkembangan sosial masyarakat.[37]
Pola-pola sosial yang bersifat baku pada suatu masyarakat didasarkan pada paradigma pikir yang tetap dan menghasilkan sistem tata nilai yang akhirnya dianut oleh masyarakat dalam jangka waktu yang cukup lama dan akhirnya tatanan nilai tersebut diabsolutkan (absolute idea). Tatanan nilai absolut itulah yang akhirnya membentuk seganap pola-pola sosial dalam bentuk institusi, kelompok, organisasi, pola interaksi sosial yang bersifat tetap. Dengan bakunya pola-pola sosial yang terbangun dengan sendirinya akan menghasilkan arus sosial yang bersifat tetap pula dalam historisitas suatu masyarakat. Kalau toh terjadi perubahan hanya pada hal-hal yang bersifat aksidental dan insidental semata.
Terjadinya pergeseran paradigmatik masyarakat, menghasilkan perubahan mendasar pada sistem tata nilai yang menjadi dasar perkembangan arus sosial masyarakat. Dan tentu saja seluruh pola-pola sosial dan arus sosial masyarakat pun berubah secara esensial. Dengan sendirinya pada kondisi masyarakat yang seperti ini tak dapat disimpulkan pola-pola sosial baku yang terbentuk serta arus sosial baku yang terjadi. Ketidakbakuan pola-pola sosial dan arus sosial biasanya terjadi pada masyarakat yang mengalami proses transisi.[38]
·         Konsekwensi sosial yang dihasilkan
Seluruh piranti-piranti sosial, baik tata nilai, struktur sosial, lingkungan sosial, proses sosial, yang baku maupun yang belum baku akan menghasilkan konsekwensi-konsekwensi bagi individu dan masyarakat. Dalam jangka pendek, social out put dan social outcame adalah konsekwensi yang pasti lahir dari setiap piranti-piranti sosial yang ada. Social output adalah “implikasi sosial yang berupa hasil-hasil positif bagi masyarakat untuk menunjang perubahan sosial yang dinamis.” Sedangkan social outcome adalah “Konsekwensi sosial yang terjadi dari terjadinya disharmoni dan disparitas anatar piranti-piranti sosial yang ada, dan mengakibatkan terhambatnya gerak laju perubahan”. Jika social out put membawa pada dinamika perubahan yang progrresif, maka sebaliknya social out come berimplikasi pada terhambatnya kemajuan sosial.
Pada jangka waktu yang lebih panjang dan skala yang lebih luas, menghasilkan dua konsekuensi sosial, yaitu social dynamic dan social statis. Social dynamic adalah “efek sosial yang terjadi jika dalam keseluruhan fakta sosial, social output yang terjadi melebihi social outcame yang dihasilkan,” sehingga komunitas sosial masyarakat terjadi pergerakan secara dinamis ke arah perubahan sosial yang progresif. Sebaliknya jika dalam kenyataan sosial, social outcome lebih mendominasi maka kemajuan sosial menjadi terhambat dan bahkan dapat mengarah pada perubahan regresif, Hal inilah yang menghasilkan terjadinya social static, yaitu “kondisi sosial masyarakat yang tak mengalami kemajuan berarti di seluruh bidang-bidang kehidupan”.
III.   Lingkup Dimensi Kajian Sosiologi
·         Sosiologi makro (masyarakat dan kebudayaan)
Dalam klasifikasi obyek teori sosial menurut Doyle Paul Johnson, sosiologi makro mengkaji pola-pola budaya yang membentuk tatanan masyarakat serta struktur sosial yang ada dan berlaku di masyarakat. Masyarakat dan kebudayaan sebagai obyek kajian sosiologi makro adalah dua realitas  sosial yang tak dapat dipisahkan. Disatu pihak, adanya kebudayaan mengandaikan adanya masyarakat, dan di sisi lain tidak ada masyarakat yang tak memiliki kebudayaan. Oleh karena itu, dalam pengkajian tentang masyarakat tak akan pernah terpisah dari kebudayaan.
Defenisi dan teori mengenai masyarakat berbeda-beda antara satu tokoh dengan tokoh yang lainnya. menurut Peter Berger, masyarakat adalah, “keseluruhan kompleks hubungan manusia yang luas sifatnya.” Masyarakat disebut kompleks karena masyarakat tersusun dari berbagai sistem dan subsistem. Selain itu Peter L. Berger juga menyatakan masyarakat sebagai sistem interaksi.[39] Masyarakat sebagai sistem interaksi antar individu juga diyakini oleh Goerge Simmel. Sedangkan menurut Murtadha Muthahhari, masyarakat adalah sekelompok manusia yang terjalin erat karena sistem tertentu, tradisi tertentu, konvensi dan hukum yang sama dan menjalani hidup bersama.[40] Dalam paradigma fakta sosial sebagaimana yang dianut oleh Emile Durkheim, masyarakat sebagai kenyataan (fakta) sosial adalah fakta yang real diluar dari individu. Sedangkan paradigma defenisi sosial yang dipahami oleh Max Weber memandang masyarakat tak lebih dari interpretasi subjektif individu. Sedangkan dalam paradigma prilaku sosial yang dianut oleh para sosiolog Amerika, menganggap masyarakat tak lebih dari hasil prilaku individu-individu.[41]
Sebagaimana masyarakat, defenisi dan teori tentang kebudayaan pun berbeda-beda antara para tokoh. Ki Hajar Dewantara mengartikan kebudayan sebagai “hasil cipta, rasa, dan karsa manusia.” Sedangkan Macionis mengartikan kebudayaan sebagai  “kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai, tingkah laku, atau objek material yang dihasilkan oleh sekelompok orang tertentu.[42] Menurut Pitirim Sorokin, kebudayaan yang dihasilkan oleh suatu masyarakat sangat ditentukan oleh mentalitas suatu masyarakat, untuk itu Sorokin membagi tiga tipe kebudayaan berdasarkan tipe mentalitas masyarakat, yaitu kebudayaan indrawi, kebudayaan ideasional, dan kebudayaan campuran.[43] Sekalipun kebudayaan satu masyarakat dengan masyarakat yang  lain berbeda, namun ada lima komponen utama yang selalu ada dalam setiap kebudayaan, yaitu simbol-simbol, bahasa, nilai-nilai, norma-norma, dan kebudayaan materil.[44]
·         Sosiologi meso (kelompok sosial)
Masyarakat sebagai objek kajian sosiologi, jika dipercitu lingkupnya akan menjadi kelompok-kelompok sosial. Oleh karena itu, kelompok sosial dapat juga diartikan sebagai masyarakat dalam lingkup yang lebih kecil. Jika masyarakat merupakan kumpulan individu dalam artian yang luas serta diatur dalam suatu sistem nilai dan struktur yang bersifat umum, kelompok sosial adalah kumpulan atau interaksi antar individu yang lebih bersifat khusus. Demikian pula pola-pola sosial yang terbentuk dalam kelompok sosial lebih spesifik dibandingkan masyarkat. Patokan utama yang menjadi tolak ukur untuk menentukan apakah suatu kumpulan individu dapat dikatakan sebagai kelompok sosial adalah pada interaksi antar anggota-anggota kelompok itu.[45]
Menurut Hendropuspito ada beberapa hal yang memberi ciri pada kelompok sosial, antara lain :
1.      Kelompok sosial merupakan satu kesatuan yang nyata yang bisa dikenal dan bisa dibedakan dari kelompok sosial lainnya.
2.      Setiap kelompok sosial mempunyai struktur sosial, artinya dalam suatu kelompok sosial tiap individu mempunyai kedudukan tertentu.
3.      Setiap anggota dalam suatu kelompok sosial memiliki peran tertentu. Peran-peran itu selalu mempunyai hubungan antara satu dengan yang lainnya.
4.      Setiap kelompok sosial memiliki norma-norma kelakuan yang mengatur bagaimana peran-peran itu harus dilakukan.
5.      Setiap anggota dalam kelompok sosial merasakan bahwa mereka mempunyai kepentingan yang sama dan mempertahankan nilai-nilai hidup yang sama.[46]
Terbentuknya suatu kelompok sosial, biasanya didasarkan pada beberapa kesamaan diantara individu-individu yang tercakup di dalamnya, yaitu :
1.      Kepentingan yang sama, baik kepentingan politik, ekonomi, hukum, maupun kepentingan yang lainnya.
2.      Darah dan keturunan yang sama (etnis).
3.      Wilayah/daerah yang sama.[47]
·         Sosiologi mikro (model sosiologi tentang individu)
Individu sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat merupakan elemen atomik dari sosiologi. Setiap teori sosiologi pasti menjabarkan tentang konsep mengenai individu dalam suatu tatanan sosial. Mikro sosiologi menempatkan individu sebagai pusat perhatiannya. Model-model individu dalam teori sosial sangat bergantung pada cara pandang mengenai hubungan antara individu dan masyarakat dalam realitas sosial.
Murtadha Muthahhari, membagi tiga cara pandang mengenai hubungan antara individu dan realitas sosial ke dalam tiga pandangan, yaitu :
1.      Antara individu dan masyarakat, hanya individulah yang real sedangkan masyarakat adalah entitas sekunder yang dibentuk oleh individu.
2.      Antara individu dan masyarakat, hanya masyarakatlah yang real dan primer, sedangkan individu tak lebih cakupan masyarakat yang bersifat sekunder.
3.      Antara individu dan masyarakat keduanya adalah real dan primer, dan masing-masing memiliki entitasnya sendiri namun tak terpisahkan.[48]
Berdasarkan teori yang pertama, model individu dalam jabaran teori sosialnya adalah individu yang mandiri dan membentuk entitas masyaraka, serta menentukan arah dan tatanan masyarakat, perubahan yang terjadi pada masyarakat sangat ditentukan oleh perubahan pada individu. Pada teori yang kedua, individu “lebur” dalam entitas masyarakat, karena realitas individu bersifat sekunder, sedangkan realitas masyarakat bersifat primer. Individu bersifat determinis terhadap masyarakat, dengan kata lain perubahan individu sangat ditentukan oleh masyarakat dan tidak sebaliknya. Sedangkan dalam teori ketiga, individu dan masyarakat berposisi sama dan bisa saling menentukan perubahan antara satu dengan yang lainnya.[49]







DAFTAR PUSTAKA



Adian, Donny Gahrial, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan. Bandung : teraju. 2003.

Azikin, Muhammad. Metodologi Penelitian. Surabaya : Cahaya Ilmu. 1995.

Hendropuspito,. Sosiologi Sistematik. Yogyakarta : Kanisius, 1989.

Ilyas,  Musyfikah, Filsafat Ilu Pengetahuan. Yogyakarta  : Pustaka Gemilang. 1998.

Johnson, Doyle Paul. Teori Sosiologi : Jilid 1. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 1994.

Karier. The Scientistsof Mind. Chicago : University of Illunois Press. 1986.

Kartanegara, Mulyadhi. Menyibak Tirai Kejahilan. Bandung : Mizan. 2003.

Mundiri. Logika. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2000.

Methew, Marcuse. Alienasi, Dominasi, dan Hegemoni. Yogyakarta : Pelita Merah, 2001.

Muthahhari, Murtadha. History and Society.  t. tp : Anshariyah Publications. t.t

_______, Manusia dan Alam Semesta. Jakarta : Lentera Basritama. 2003.

N, Abbercombie. Dictionary of Sociology. London : Penguin Books. 1984.

Poedjawijatna, IR. Tahu dan Pengetahuan. Jakarta : Rineka Cipta. 1998.

Raho, Bertnard. Sosiologi : Sebuah Pengantar. Surabaya : Sylvia. 2004.

Suardidiningrat. Manusia dan Perkembangannya. Yogyakarta : Pena. 1990.

Weber Max. The Theory of Social and Economic Organization. New York : Oxford University Press. 1991.





[1] Mulyadhi Kartanegara, Menyibak tirai Kejahilan (Cet. I ; Bandung : Mizan, 2003), h. 1.
[2] Ibid., h. 2.
[3] Karier, The Scientistsof Mind (Chicago : University of Illunois Press, 1986), h. 7.
[4] IR Poedjawijatna, IR Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan. (Cet. VIII ; Jakarta : Rineka Cipta, 1998), h. 3.
[5] Mundiri, Logika (Cet. IV ; Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), h. 4.
[6] Ibid.
[7] Ibid., h. 5.
[8] Sosiologi berasal dari dua kata bahasa Yunani socios yang berarti teman atau sesama dan logos yang berarti ilmu. Lihat Abbercombie N, Dictionary of Sociology (London : Penguin Books, 1984), h. 232. Secara sederhana (etimologi) sosiologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang hidup bersama atau hidup bermasyarakat. Lihat Bertnard Raho, Sosiologi : Sebuah Pengantar (Cet. I ; Surabaya : Sylvia, 2004), h. 1.
[9] Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi : Jilid 1 (Cet. II ; Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 5.
[10] Donny Gahrial Adian, Menyoal Obyektivisme Ilmu Pengetahuan (Cet. I ; Bandung : Teraju, 2003), h. 93.
[11] Musyfikah Ilyas, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Cet. I ; Yogyakarta : Pustaka Gemilang, 1998), h. 7.
[12] Ibid., h. 76.
[13] Metodologi terdiri dari dua kata, yaitu metodos yang berarti cara dan logos yang berarti ilmu, secara etimologi metodologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang metode. Lihat Muhammad Azikin, Metodologi Penelitian (Cet. I : Surabaya :  Cahaya Ilmu, 1995), h. 12.
[14] Donny Gahrial Adian, op, cit., h. 29.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Bernard Raho, op, cit., h. 19.
[18] Ibid., h. 20
[19] Lihat ibid., h. 20-31 dan Doyle Paul Johnson, op, cit., h. 55-56.
[20] Ibid., h. 15.
[21] Lihat ibid., h. 16-18
[22] Ibid., h. 62.
[23] Lihat Doyle Paul Johnson, op, cit., h. 5.
[24] Bernard Raho op, cit., h. 36.
[25] Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization (New York : Oxford University Press, 1991), h. 118.
[26] Hendropuspito, Sosiologi Sistematik (Yogyakarta : Kanisius, 1989), h. 41.
[27] Bernard Raho, op, cit., h. 37.
[28] Doyle Paul Johnson, op, cit., h. 257.
[29] Lihat Abbercombie, op, cit., h. 74.
[30] Ibid., h. 188.
[31] Marcuse Methew, Alienasi, Dominasi, dan Hegemoni (Cet. I ; Yogyakarta : Pelita Merah, 2001), h. 59.
[32] Bernard Raho, op, cit., h. 49.
[33] Ibid., h. 177.
[34] Ibid., h. 184.
[35] Ibid., h. 171.
[36] Suatu contoh pada sistem religi, pada masyarakat pertanian primitif biasanya menyembah dewa bumi (tanah) dengan harapan tanah tetap subur dan hasil panen meningkat  sedangkan pada masyarakat maritim cenderung menyembah dewa laut dengan harapan hasil laut semakin melimpah dan aman selama melaut.
[37] Murtadha Muthahhari, History and Society (t. tp : Anshariyah Publlication. Tt), h. 55.
[38] Suardidiningrat,  Manusia dan Perkembangannya (Yogyakarta : Pena, 1990), h. 49.
[39] Bernard Raho, op, cit.,
[40] Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta (Cet. II ; Jakarta : Lentera Basritama, 2002), h. 267.
[41] Lihat Doyle Paul Johnson, op, cit., h. 55-56.
[42]  Bernard Raho, op, cit., h. 58.
[43] Lihat Doyle Paul Johnson, op, cit., h. 99-100.
[44] Lihat Bernard Raho, op, cit., h. 59-67.
[45] Ibid.,  h. 40.
[46] Lihat Hendropuspito, op, cit., h. 41-42.
[47] Lihat Bernard Raho, op, cit., h. 41-42.
[48] Lihat Murtadha Muthahhari, History and Socuety, op, cit., h. 78-86.
[49] Lihat ibid., h. 90-98.

Komentar

Postingan Populer