Posisi Teori Berger



Posisi Teori Berger
Perspektif Berger tak dapat dilepaskan dari situasi sosiologi Amerika era 1960-an. Saat itu, dominasi fungsionalisme berangsur menurun, seiring mulai ditanggalkannya oleh sosiolog muda. Sosiolog muda beralih ke perspektif konflik (kritis) dan humanisme. Karena itu, gagasan Berger yang lebih humanis (Weber dan Schutz) akan mudah diterima, dan di sisi lain mengambil fungsionalisme (Durkheim) dan konflik (dialektika Marx). Berger mengambil sikap berbeda dengan sosiolog lain dalam menyikapi ‘perang’ antar aliran dalam sosiologi. Berger cenderung tidak melibatkan dalam pertentangan antar paradigma, namun mencari benang merah, atau mencari titik temu gagasan Marx, Durkheim dan Weber. Benang merah itu bertemu pada; historisitas. Selain itu, benang merah itu yang kemudian menjadikan Berger menekuni makna (Schutz) yang menghasilkan watak ganda masyarakat; masyarakat sebagai kenyataan subyektif (Weber) dan masyarakat sebagai kenyataan obyektif (Durkheim), yang terus berdialektika (Marx). Lalu, dimana posisi teori Berger? Masuk dalam positif, humanis, atau kritis?
Dalam bab kesimpulan di bukunya; Konstruksi Sosial atas Kenyataan: sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Berger secara tegas mengatakan bahwa sosiologi merupakan suatu disiplin yang humanistik. Hal ini senada dengan Poloma yang menempatkan teori konstruksi sosial Berger dalam corak interpretatif atau humanis. Hanya saja, pengambilan Berger terhadap paradigma fakta sosial Durkheim menjadi kontroversi ke-humanis-annya. Pengambilan itu pula yang membuat Douglas dan Johnson menggolongkan Berger sebagai Durkheimian: Usaha Berger dan Luckmann merumuskan teori konstruksi sosial atas realitas, pada pokoknya merupakan usaha untuk memberi justifikasi gagasan Durkheim berdasarkan pada pandangan fenomenologi (Hanneman Samuel, 1993: 42). Selain itu, walaupun Berger mengklaim bahwa pendekatannya adalah non-positivistik, ia mengakui jasa positivisme, terutama dalam mendefinisikan kembali aturan penyelidikan empiris bagi ilmu-ilmu sosial (Berger dan Luckmann, 1990: 268).
Upaya yang paling aman (lebih tepat) dalam menggolongkan sosiolog tertentu, rupanya adalah dengan menempatkan sosiolog dalam posisinya sendiri. Dengan mendasari dari pemikiran interaksionisme simbolik, bahwa setiap orang adalah spesifik dan unik. Demikian halnya sosiolog, sebagai seorang manusia, tentu memiliki pemikiran yang unik dan spesifik. Namun hal ini bukan menempatkan sosiolog terpisah dan tidak tercampuri oleh sosiolog lain. Karena itu yang lebih tepat dilakukan adalah dengan mencari jaringan pemikiran (teori) antar sosiolog, bukan menggolong-golongkan.
Dalam kasus Berger, maka pemikiran sosiolog sebelumnya yang kentara mempengaruhi teorinya adalah (sebagaimana disinggung di atas): Max Weber, Emile Durkheim, Karl Marx, dan Schutz, serta George Herbert Mead. Pengaruh Weber nampak pada penjelasannya akan makna subyektif yang tak bisa diacuhkan ketika mengkaji gejala yang manusiawi. Tentang dialektika (individu adalah produk masyarakat, masyarakat adalah produk manusia) Berger rupanya meminjam gagasan Marx. Sedang masyarakat sebagai realitas obyektif –yang mempunyai kekuatan memaksa, sekaligus sebagai fakta sosial, adalah sumbangan Durkheim.
Schutz rupanya lebih mewarnai dari tokoh lainnya, terutama tentang makna dalam kehidupan sehari-hari (common sense). Secara umum, dalam masalah internalisasi, termasuk tentang ’I’ and ’me’ dan significant others, Mead menjadi rujukan Berger. Selain konsep diri atau self, makna adalah istilah yang sentral dari sosiologi humanis. Pembahasan mengenai makna sangat nampak dalam Interaksionisme Blumer. Teori Blumer bertumpu pada tiga premis utama yang melibatkan makna;
  1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka
  2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain
  3. Makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung.
Bagi Garfinkel, setiap orang bergulat untuk menangkap pengalaman sosial sedemikian rupa sehingga pengalaman itu “punya arti”. Etnometodologi Garfinkel menyangkut isu realitas common sense di tingkat individual. Hal itu berbeda dengan Berger, yang menganalisa tingkat kolektif.1 Berger banyak “berhutang budi” pada fenomenologi Alfred Schutz –sebagaimana juga Garfinkel, terlebih dalam hal “pengetahuan” dan makna. Schutz menjelaskan tiga unsur pengetahuan yang membentuk pengertian manusia tentang masyarakat, yakni: dunia sehari-hari, sosialitas, dan makna (Novri Susan, 2003:46).
Dunia sehari-hari adalah orde tingkat satu dari kenyataan (the first order of reality). Ia menjadi dunia yang paling fundamental dan esensial bagi manusia. Sosialitas berpijak pada teori tindakan sosial Max Weber. Social action yang terjadi setiap hari selalu memiliki makna-makna. Atau, berbagai makna senantiasa mengiringi tindakan sosial, dibalik tindakan sosial pasti ada berbagai makna –yang “bersembunyi”/”melekat”. Sumbangan Schutz yang utama bagi gagasan fenomenologi, terutama tentang makna dan bagaimana makna membentuk struktur sosial, adalah tentang “makna” dan “pembentukan makna”.
Orde asasi dari masyarakat adalah dunia sehari-hari, sedangkan makna dasar bagi pengertian manusia adalah common sense (dunia akal sehat). Dunia akal sehat terbentuk dalam percakapan sehari-hari. Common sense merupakan pengetahuan yang ada pada setiap orang dewasa yang sadar. Pengetahuan ini didapatkan individu secara sosial melalui sosialisasi –dari orang-orang sebelumnya, terlebih dari significant others. Common sense terbentuk dari tipifikasi yang menyangkut pandangan dan tingkah laku, serta pembentukan makna. Hal ini terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam komunikasi melalui bahasa dan interaksi sosial kemudian membangun semacam sistem relevansi kolektif.

Komentar

Postingan Populer