TEORI SOSIOLOGI IBNU KHALDUN
TEORI
SOSIOLOGI IBNU KHALDUN
Sosiologi
Masyarakat: Peradaban Badui, Orang Kota, dan Solidaritas Sosial
Menurut Ibnu Khaldun manusia diciptakan sebagai makhluk
politik atau sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam
mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupannya dengan masyarakat dan
organisasi sosial merupakan sebuah keharusan (dharury) (Muqaddimah: 41).
Pendapat ini agaknya mirip dengan pendapat Al-Mawardi dan Abi Rabi’.
Selain itu Ibnu Khaldun juga terkenl dengan teorinya tentang
‘ashabiyah inilah yang melambungkan namanya dimata para pemikir modern, teori
yang membedakannya dari pemikir Muslim lainnya. ‘Ashabiyah mengandung makna
Group feeling, solidaritas kelompok, fanatisme kesukuan, nasionalisme, atau
sentimen sosial. Yaitu cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada saudara
atau tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan tidak adil atau
disakiti. Ibn Khaldun dalam hal ini memunculkan dua kategori sosial fundamental
yaitu Badawah (بداوة) (komunitas pedalaman, masyarakat primitif, atau daerah
gurun) dan Hadharah (حضارة) (kehidupan kota, masyarakat beradab). Keduanya
merupakan fenomena yang alamiah dan Niscaya (dharury) (Muqaddimah: 120).
Penduduk kota menurutnya banyak berurusan dengan hidup enak.
Mereka terbiasa hidup mewah dan banyak mengikuti hawa nafsu. Jiwa mereka telah
dikotori oleh berbagai macam akhlak tercela. Sedangkan orang-orang Badui,
meskipun juga berurusan dengan dunia, namun masih dalam batas kebutuhan, dan
bukan dalam kemewahan, hawa nafsu dan kesenangan (Muqaddimah: 123). Daerah yang
subur berpengaruh terhadap persoalan agama. Orang-orang Badui yang hidup
sederhana dibanding orang-orang kota serta hidup berlapar-lapar dan
meninggalkan makanan yang mewah lebih baik dalam beragama dibandingkan dengan
orang yang hidup mewah dan berlebih. Orang-orang yang taat beragama sedikit
sekali yang tinggal di kota-kota karena kota telah dipenuhi kekerasan dan masa
bodoh.
Oleh karena itu, sebagian orang yang hidup di padang pasir
adalah orang zuhud. Orang Badui lebih berani daripada penduduk kota. Karena
penduduk kota malas dan suka yang mudah-mudah. Mereka larut dalam kenikmatan dan
kemewahan. Mereka mempercayakan urusan keamanan diri dan harta kepada penguasa.
Sedangkan orang Badui hidup memencilkan diri dari masyarakat. Mereka hidup liar
di tempat-tempat jauh di luar kota dan tak pernah mendapatkan pengawasan
tentara. Karena itu, mereka sendiri yang mempertahankan diri mereka sendiri dan
tidak minta bantuan pada orang lain (Muqaddimah: 125).
Untuk bertahan hidup masyarakat pedalaman harus memiliki
sentimen kelompok (‘ashabiyyah) yang merupakan kekuatan pendorong dalam
perjalanan sejarah manusia, pembangkit suatu klan. Klan yang memiliki
‘ashabiyyah kuat tersebut dapat berkembang menjadi sebuah negeri (Muqaddimah:
120). Sifat kepemimpinan selalu dimiliki orang yang memiliki solidaritas
sosial. Setiap suku biasanya terikat pada keturunan yang bersifat khusus (khas)
atau umum (‘aam). Solidaritas pada keturunan yang bersifat khusus ini lebih
mendarah-daging daripada solidaritas dari keturunan yang bersifat umum.
Oleh karena itu, memimpin hanya dapat dilaksanakan dengan
kekuasaan. Maka solidaritas sosial yang dimiliki oleh pemimpin harus lebih kuat
daripada solidaritas lain yang ada, sehingga dia memperoleh kekuasaan dan
sanggup memimpin rakyatnya dengan sempurna. Solidaritas sosial menjadi syarat
kekuasaan (Muqaddimah: 131). Di dalam memimpin kaum, harus ada satu solidaritas
sosial yang berada di atas solidaritas sosial masing-masing individu. Sebab,
apabila solidaritas masing-masing individu mengakui keunggulan solidaritas
sosial sang pemimpin, maka akan siap untuk tunduk dan patuh mengikutinya
(Muqaddimah: 132). Bangsa-bangsa liar lebih mampu memiliki kekuasaan daripada
bangsa lainnya. Kehidupan padang pasir merupakan sumber keberanian. Tak ayal
lagi, suku liar lebih berani dibanding yang lainnya. Oleh karena itulah, mereka
lebih mampu memiliki kekuasaan dan merampas segala sesuatu yang berada dalam
genggaman bangsa lain. Sebabnya, adalah karena kekuasaan dimiliki melalui
keberanian dan kekerasan. Apabila di antara golongan ini ada yang lebih hebat
terbiasa hidup di padang pasir dan lebih liar, dia akan lebih mudah memiliki
kekuasaan daripada golongan lain (Muqaddimah: 138).
Pendapat Ibnu khaldun dalam hal ini tidak
mengherankan, karena beliau melakukan penelitian pada masyarakat ‘Arab dan
Barbar khususnya yang memang menjalani kehidupan sukar dipadang pasir. Tujuan
terakhir solidaritas adalah kedaulatan. Karena solidaritas sosial itulah yang
mempersatukan tujuan; mempertahankan diri dan mengalahkan musuh. Begitu
solidaritas sosial memperoleh kedaulatan atas golongannya, maka ia akan mencari
solidaritas golongan lain yang tak ada hubungan dengannya. Jika solidaritas
sosial itu setara, maka orang-orang yang berada di bawahnya akan sebanding.
Jika solidaritas sosial dapat menaklukan solidaritas lain, keduanya akan
bercampur yang secara bersama-sama menuntun tujuan yang lebih tinggi dari
kedaulatan. Akhirnya, apabila suatu negara sudah tua umurnya dan para
pembesarnya yang terdiri dari solidaritas sosial sudah tidak lagi mendukungnya,
maka solidaritas sosial yang baru akan merebut kedaulatan negara. Bisa juga
ketika negara sudah berumur tua, maka butuh solidaritas lain.
Dalam situasi demikian, negara akan memasukkan para
pengikut solidaritas sosial yang kuat ke dalam kedaulatannya dan dijadikan
sebagai alat untuk mendukung negara. Inilah yang terjadi pada orang-orang Turki
yang masuk ke kedaulatan Bani Abbas (Muqaddimah: 139-140). Aka tetapi hambatan
jalan mencapai kedaulatan adalah kemewahan. Semakin besar kemewahan dan
kenikmatan mereka semakin dekat mereka dari kehancuran, bukan tambah memperoleh
kedaulatan. Kemewahan telah menghancurkan dan melenyapkan solidaritas sosial.
Jika suatu negara sudah hancur, maka ia akan digantikan oleh orang yang
memiliki solidaritas yang campur di dalam solidaritas sosial (Muqaddimah: 140).
Menurut Ibn Khaldun apabila suatu bangsa itu liar, kedaulatannya akan sangat
luas. Karena bangsa yang demikian lebih mampu memperoleh kekuasaan dan
mengadakan kontrol secara penuh dalam menaklukan golongan lain (Muqaddimah:
145).
Tujuan akhir dari solidaritas sosial (‘ashabiyyah) adalah
kedaulatan. ‘Ashabiyyah tersebut terdapat pada watak manusia yang dasarnya bisa
bermacam-macam; ikatan darah atau persamaan keTuhanan, tempat tinggal
berdekatan atau bertetangga, persekutuan atau aliansi, dan hubungan antara
pelindung dan yang dilindungi. Khusus bangsa Arab menurut Ibn Khaldun,
persamaan Ketuhananlah yang membuat mereka berhasil mendirikan Dinasti. Sebab
menurutnya, Bangsa Arab adalah Bangsa yang paling tidak mau tunduk satu sama
lain, kasar, angkuh, ambisius dan masing-masing ingin menjadi pemimpin.
‘Ashabiyyah yang ada hanya ‘ashabiyyah kesukuan/qabilah yang tidak memungkinkan
mendirikan sebuah dinasti karena sifat mereka. Hanya karena Agama yang dibawa
oleh Nabi mereka akhirnya bisa dipersatukan dan dikendalikan (Muqaddimah: 151).
Tetapi menurutnya pula, bahwa motivasi Agama saja tidak cukup sehingga tetap
dibutuhkan solidaritas kelompok (‘ashabiyyah). Agama dapat memperkokoh
solidaritas kelompok tersebut dan menambah keampuhannya, tetapi tetap ia
membutuhkan motivasi-mativasi lain yang bertumpu pada hal-hal diluar Agama
(Muqaddimah: 159).
Homogenitas juga berpengaruh dalam pembentukan sebuah
Dinasti yang besar. Adalah jarang sebuah Dinasti dapat berdiri di kawasan yang
mempunyai beragam aneka suku, sebab dalam keadaan demikian masing-masing suku
mempunyai kepentingan, aspirasi, dan pandangan yang berbeda-beda sehingga
kemungkinan untuk membentuk sebuah Dinasti yang besar merupakan hal yang sulit.
Hanya dengan hegemonitas akan menimbulkan solidaritas yang kuat sehingga tercipta
sebuah Dinasti yang besar (Muqaddimah: 163).
Dalam kaitannya tentang ‘ashabiyyah, Ibn Khaldun menilai
bahwa seorang Raja haruslah berasal dari solidaritas kelompok yang paling
dominan. Sebab dalam mengendalikan sebuah negara, menjaga ketertiban, serta melindungi
negara dari ancaman musuh baik dari luar maupun dalam dia membutuhkan dukungan,
loyalitas yang besar dari rakyatnya. Dan hal ini hanya bisa terjadi jika ia
berasal dari kelompok yang dominan.
Komentar
Posting Komentar